KEBUDAYAAN SUKU JAWA
1. Pengertian
Berbicara mengenai suku Jawa, yang
merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Di tahun 2004 saja, telah tercatat
lebih dari 90 juta lebih orang yang bersuku bangsa Jawa. Beberapa orang pasti
menyangka bahwa yang dimaksud dengan suku Jawa adalah orang-orang yang lahir,
mendiami daerah wilayah Jawa Tengah dan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa.
Padahal, daerah kebudayaan Jawa itu luas, meliputi seluruh bagian tengah dan
timur dari pulau Jawa. walaupun pada kenyataanya, tetap saja tampak perbedaan
karakteristik antara orang-orang yang mendiami daerah Jawa Tengah dan
Yogyakarta, dengan orang-orang yang mendiami daerah Jawa Timur. Selain suku
bangsa Jawa, ada juga subsuku dari suku bangsa ini, yaitu suku osing dan suku
tengger.
Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang berusaha untuk menjaga harmoni atau keserasian juga menghindari konflik. Mereka cenderung diam dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari konflik.
Sistem kekerabatan yang digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah Patrilineal, atau menggunakan garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini sama seperti kebanyakan suku di Indonesia, seperti suku Batak.
Dalam kehidupan nasional pun, eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa. mulai dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan Michelle Branch, yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun ternyata memiliki garis keturunan orang Jawa.
Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang berusaha untuk menjaga harmoni atau keserasian juga menghindari konflik. Mereka cenderung diam dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari konflik.
Sistem kekerabatan yang digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah Patrilineal, atau menggunakan garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini sama seperti kebanyakan suku di Indonesia, seperti suku Batak.
Dalam kehidupan nasional pun, eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa. mulai dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan Michelle Branch, yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun ternyata memiliki garis keturunan orang Jawa.
2. Unsur”
kebudayaan suku jawa
A.
Bahasa
Bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.
Terdapat tiga bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap, madhya, madhyantara, kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari
Bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.
Terdapat tiga bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap, madhya, madhyantara, kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan, Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari
B.
Sistem Pengetahuan
Salah satu
bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini,
adalah bentuk penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut kelompok
kami, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil
diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh
unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat.
Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya
yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan
penanggalan, karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik
penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/syamsiah) dan juga penanggalan
berdasarkan perputaran bulan (lunar/komariah).
Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .
Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud, jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah. Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .
C.
Teknologi
dan peralatan
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan
perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi
bangunan. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri
sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. Ada beberapa
jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah rumah
limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah limasan, adalah rumah yang
paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang
dihunu oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo, umumnya dimiliki
sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.
D. Sistem kesenian
Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka
ragam, mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang
kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian lainya.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian.
Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit. Pada masa sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
Tari Klasik
Tari Tradisional
Tari Garapan Baru
Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang bertepatan dengan hari penobatan raja atau ratu.
Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.
Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian.
Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit. Pada masa sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
Tari Klasik
Tari Tradisional
Tari Garapan Baru
Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang bertepatan dengan hari penobatan raja atau ratu.
Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.
Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.
Tari Srimpi
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin.
Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasanya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tarianya, pakaian yang digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.
Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.
Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga lah yang menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas.
Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.
Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.
Daerah blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang kulit, namun terebuat dari kayu).
Di daerah pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dll. Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.
Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). Gerakan tarianya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag, dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian saja.
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin.
Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasanya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tarianya, pakaian yang digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.
Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.
Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga lah yang menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas.
Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.
Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.
Daerah blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang kulit, namun terebuat dari kayu).
Di daerah pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dll. Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.
Lengger calung, adalah kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). Gerakan tarianya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag, dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian saja.
Gambar. 5 tari lengger
calung
Selain kesenian yang
berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian dalam bentuk lain, misalnya
saja dalam seni musik. Baik berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk
lagu-lagu daerah
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringipertunj ukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain- lain. Sedangkan Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurangakrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringipertunj ukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain- lain. Sedangkan Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurangakrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat
Gambar. 6 set gamelan Jawa
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.
Sedangkan bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung, Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.
Sedangkan bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak Pucung, Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape
E. Sistem
mata pencaharian hidup
Tidak ada mata pencaharian yang khas yang
dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. pada umumnya, orang-orang disana bekerja
pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang
didominasi oleh orang Jawa. selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan
umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor pertanian
dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata
pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa
Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang
peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.
Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa. Pakaian jawa untuk laki-laki, biasa disebut beskap lengkap atau komplit kalau pakai keris di pinggang. Pakaian itu yang bikin gara-gara. Memang karena tidak biasa dipakai sehari-hari, maka tak banyak yang bisa memakai sendiri. Untuk para wanita pun tidak ketinggalan dengan pakaian adat jawa. Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kebaya. Kebaya adalah pakaian adat jawa yang sekarang semakin digemari khalayak banyak. Desian kebaya kini sudah dapat membawa berbagi macam kebebasan berkreasi. Semoga saja kebaya dapat go international dan dikenal oleh masyarakat luar negeri.
Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa. Pakaian jawa untuk laki-laki, biasa disebut beskap lengkap atau komplit kalau pakai keris di pinggang. Pakaian itu yang bikin gara-gara. Memang karena tidak biasa dipakai sehari-hari, maka tak banyak yang bisa memakai sendiri. Untuk para wanita pun tidak ketinggalan dengan pakaian adat jawa. Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kebaya. Kebaya adalah pakaian adat jawa yang sekarang semakin digemari khalayak banyak. Desian kebaya kini sudah dapat membawa berbagi macam kebebasan berkreasi. Semoga saja kebaya dapat go international dan dikenal oleh masyarakat luar negeri.
F. Sistem
realigi
Agama dan kepercayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat
Jawa, antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain itu terdapat pula agama
lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen protestan, yang cukup banyak
dianut oleh masyarakat di sekitar semarang, surakarta, dan solo. Katolik pun
cukup berkembang di kalangan masyarakat Jawa, walaupun persentase nya tidak
sebesar agama kristen protestan. Di daerah pedalaman pun, berkembang agama
hindu dan budha, namun diantara kedua agama tersebut, persentase pemeluk budha
jauh lebih banyak dibanding pemeluk hindu.
Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya, adalah kepercayaan yang bernama kejawen. Kejawen ini, terkadang bercampur dengan agama islam, sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu kepercayaan baru yang bernama islam kejawen. Perbedaan paling mencolok antara islam santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya pada Allah, dan Nabi Muhammad SAW. Kejawen dianggap memiliki makna sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. pada pandangan umum, kejawen hanya berisi tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.
Selain kejawen, ada beberapa aliran kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:
Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.
Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya banyak mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. Dan dibedakan dengan syariat-syariat islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah terpengaruh unsur budaya hindu-Jawa.
Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. mengapa bisa dikatakan demikian? Karena, para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja dewa-dewa dari agama hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa mereka beragama hindu.
Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana para penganutnya berusaha mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa menganut agama apapun.
Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya, adalah kepercayaan yang bernama kejawen. Kejawen ini, terkadang bercampur dengan agama islam, sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu kepercayaan baru yang bernama islam kejawen. Perbedaan paling mencolok antara islam santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya pada Allah, dan Nabi Muhammad SAW. Kejawen dianggap memiliki makna sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. pada pandangan umum, kejawen hanya berisi tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.
Selain kejawen, ada beberapa aliran kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:
Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.
Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya banyak mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. Dan dibedakan dengan syariat-syariat islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah terpengaruh unsur budaya hindu-Jawa.
Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. mengapa bisa dikatakan demikian? Karena, para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja dewa-dewa dari agama hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa mereka beragama hindu.
Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana para penganutnya berusaha mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa menganut agama apapun.
Selain membahas tentang
agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Jawa, pada pembahasan
tentang sistem religi ini, kami juga akan membahas tentang kepercayaan, dan
ritual-ritual yang sering dilakukan oleh orang Jawa.
Upacara Selamatan adalah upacara yang paling umum dan paling dikenal, bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain pun mengadakan selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya, selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu didoakan sebelum dibagikan. Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. Upacara selamatan dibagi menjadi empat macam yaitu:
Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan upacara nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.
Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi.
Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti muludan, malam satu suro, dll.
Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil, seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki, dan saat sembuh dari sakit.
Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu, tempat, dan keadaan tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat-tempat yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan waktu, biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam jum’at kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu, kopi hitam, teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.
Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari benda-benda atau makhluuk hidup tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap kemampuan seperti keris, gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.
Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa baru (juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa, pada bulan sebelum bulan puasa (reuwah/syaban). Upacara ini diisi dengan acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut melakukan upacara ini.
Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak kecil berumur di bawah lima tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7 rupa. Dari depan rumah sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan selendang berwarna kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan dibimbing menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain. Di dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya, kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari ayam panggang tersebut.
Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal dari Tegal (pantai utara Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti dari prosesi ini adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran raksasa. Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak berbeda dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan handai taulan.
Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan kesialan dalam hidup orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini diperkirakan berasal dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme, tetapi sekarang ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak menyimpang.
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh para penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu.
Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi tasyakuran atau pengucapan syukur ketika moment peringatan terhadap seorang bayi pada usia tertentu.
Malam satu suro adalah peringatan pergantian tahun dalam kalender Jawa. kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada tahun 431 H atau tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak, membuat penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.
Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan untuk keselamatan sang ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam acara ini, para tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam wadah yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa yang bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara dengan tujuan serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.
Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan setelah sang jabang bayi lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang lain di Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau “sedulur kembar” sang bayi tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran bayi yaitu:
Brokohan merupakan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir dengan selamat, diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang baik. Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.
Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan pada saat si bayi berumur lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan acara utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan saudara. Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar, namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.
Puputan sebenarnya memiliki arti “tali puser bayi puput”. Acara ini diadakan pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara ini ada kendhuri, bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya dilaksanakan selepas maghrib.
Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah prosesi selanjutnya. Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, di tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (7×35=245 hari).
Upacara Selamatan adalah upacara yang paling umum dan paling dikenal, bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain pun mengadakan selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya, selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu didoakan sebelum dibagikan. Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. Upacara selamatan dibagi menjadi empat macam yaitu:
Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan upacara nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.
Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi.
Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti muludan, malam satu suro, dll.
Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil, seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki, dan saat sembuh dari sakit.
Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu, tempat, dan keadaan tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat-tempat yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan waktu, biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam jum’at kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu, kopi hitam, teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.
Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari benda-benda atau makhluuk hidup tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap kemampuan seperti keris, gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.
Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa baru (juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa, pada bulan sebelum bulan puasa (reuwah/syaban). Upacara ini diisi dengan acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut melakukan upacara ini.
Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak kecil berumur di bawah lima tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7 rupa. Dari depan rumah sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan selendang berwarna kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan dibimbing menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain. Di dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya, kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari ayam panggang tersebut.
Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal dari Tegal (pantai utara Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti dari prosesi ini adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran raksasa. Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak berbeda dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan handai taulan.
Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan kesialan dalam hidup orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini diperkirakan berasal dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme, tetapi sekarang ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak menyimpang.
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh para penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu.
Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi tasyakuran atau pengucapan syukur ketika moment peringatan terhadap seorang bayi pada usia tertentu.
Malam satu suro adalah peringatan pergantian tahun dalam kalender Jawa. kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada tahun 431 H atau tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak, membuat penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.
Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan untuk keselamatan sang ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam acara ini, para tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam wadah yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa yang bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara dengan tujuan serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.
Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan setelah sang jabang bayi lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang lain di Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau “sedulur kembar” sang bayi tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran bayi yaitu:
Brokohan merupakan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir dengan selamat, diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang baik. Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.
Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan pada saat si bayi berumur lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan acara utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan saudara. Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar, namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.
Puputan sebenarnya memiliki arti “tali puser bayi puput”. Acara ini diadakan pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara ini ada kendhuri, bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya dilaksanakan selepas maghrib.
Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah prosesi selanjutnya. Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, di tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (7×35=245 hari).
G. Kekerabatan
dan organisasi kemasyarakatan
Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental,
yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak/ibu.
Istilah-
istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:
1.Pakde dan
Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki-laki maupun
perempunan beserta suami dan istrinya.
2.Paklik
(Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki
maupun perempuan beserta suami dan istrinya.
3.Nak Ndulur
(Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.
4.Misan, yaitu
anak dari saudara sepupu.
Pada
masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan
dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.
Ukuran ideal
bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan bagi wanita,
perhitungannya didasarkan pada mugen, tegen, dan rigen.
Pernikahan
yang dilarang, yaitu menikah dengan:
1.Saudara
kandung.
2.Pancer
lanang (anak dari dua saudara kandung laki-laki).
3.Pihak
laki-laki lebih muda abunya dari pihak perempuan.
SISTEM POLITIK
DAN KEMASYARAKATAN
1.Dahulu, pada
suku Jawa terdapat stratifikasi sosial yang dikenal dengan golongan bendoro,
priyayi, dan wong cilik.
2.Stratifikasi
sosial berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu wong baku, kuli gondok (lindung),
dan sinoman.
3.Dalam bidang
pemerintah, pamong desa memilih seorang kepala desa (lurah) dengan semua
pembantunya, seperti carik, juga tirta (ulu-ulu), dan juga baya. Tugas utama
mereka adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa.
SISTEM EKONOMI
Sistem
perekonomian masyarakat Jawa mencakup
1) Pertanian
Yang dimaksud
pertanian disini terdiri atas pesawahan dan perladangan (tegalan), tanaman
utama adalah padi. Tanaman lainnya jagung, ubi jalar, kacang tanah, kacang
hijau dan sayur mayor, yang umumnya ditanam di tegalan. Sawah juga ditanami
tanaman perdagangan, seperti tembakau, tebu dan rosella.
2) Perikanan
Adapun usaha
yang dilakukan cukup banyak baik perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan
laut diusahakan di pantai utara laut jawa. Peralatannya berupa kail, perahu,
jala dan jarring
3) Peternakan
Binatang
ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik dan lain-lain.
4) Kerajinan
Kerajinan
sangat maju terutama menghasilkan batik, ukir-ukiran, peralatan rumah tangga,
dan peralatan pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar